Kemarin, 24 Oktober 2016 adalah hari dokter nasional. Para
dokter dan mahasiswa kedokteran menggelar aksi damai di depan istana Negara.
Kompak di beberapa tempat di Indonesia juga melakukan hal yang sama. Mereka menyuarakan
tentang darurat reformasi kesehatan yang pro rakyat untuk Indonesia yang lebih baik. Sebelum
masuk lanjut ke aksi para dokter, saya ingin sedikit bercerita tentang pengalaman bersama
para dokter.
Beberapa bulan lalu, secara bersama-sama, suami dan salah
satu anak saya terkena Demam Berdarah Dengue. 4 hari panas tinggi tidak turun
juga, saya memutuskan untuk membawa keduanya tes darah. Tercengang mendengar
harga tes darah dari laboratorium yang direkomendasikan, saya berusaha mencari
informasi di lab yang lain. Harganya ternyata tak jauh berbeda. Saya memutuskan
tes di lab yang memberikan harga termurah. Untuk 2 orang, ternyata tes darah
membuat dompet saya sesak nafas juga.
Selesai tes darah, ternyata hasilnya tidak terlalu
menggembirakan. Mereka berdua positif terkena Demam Berdarah Dengue. Suami saya
harus opname karena trombosit saat itu hanya tersisa 28.000. Beruntung tidak
harus transfusi darah. Anak saya, masih bisa rawat jalan dengan banyak asupan
cairan dan menjaga kondisinya tetap stabil.
Masuk rumah sakit ternyata tidak langsung mendapat kamar.
Masuk rumah sakit, harus melewati ruang yang bernama ICU terlebih dahulu. Harga
ruang ICU tentu berbeda dengan kamar rawat inap biasa. Beberapa jam di ICU,
melakukan tes darah ulang, setelah tes keluar, sore hari masuk ke ruang rawat
inap biasa. Total 3 hari suami saya menjalani rawat inap, dengan tes darah
setiap hari.
Awalnya saya memperkirakan biaya yang dikeluarkan dengan
menghitung harga obat, harga kamar per malam, dan perkiraan harga tes darah.
Ternyata setelah menghadap meja kasir, Jantung saya mencelos. Biaya rawat inap
dan lain-lain untuk 3 hari ternyata menguras seluruh isi tabungan saya selama 3
tahun. Iya, rupiah demi rupiah yang saya kumpulkan selama 3 tahun tak bersisa
untuk 3 hari di Rumah sakit. Ini jaaauuuh lebih mahal dari biaya liburan ke
Bali. Lunglai saya keluar dari kasir, bukan karena penyakit tapi karena melihat
sisa saldo di rekening saya.
Keharusan untuk kontrol setelah rawat inap tidak dijalani
suami saya. Dia memilih kontrol di klinik dekat rumah yang kebetulan harganya
amat sangat terjangkau kantong. Seorang dokter yang beberapa tahun praktek di
PMI memberikan harga yang amat sangat ramah. Akhirnya kita pun memilih untuk
tes darah terakhir disana, dengan pertimbangan harga yang kita dapat ½ dari
harga yang diberikan lab besar.
Saat itu kami memang belum menjadi anggota BPJS karena
mendengar berbagai kesulitan dan halangan yang sering di keluhkan oleh para
pasien anggota BPJS maupun tenaga kesehatan yang melayani BPJS. Masih banyak
sistem yang harus diperbaiki di BPJS. Mulai dari skema pembiayaan, alokasi
dana, dan sistem yang berjalan di dalamnya. Menceritakan pengalaman
mengantarkan mertua saya yang sakit stroke menggunakan BPJS mungkin akan lebih
panjang lagi. Namun begitu tidak dapat dipungkiri, banyak kemudahan yang di
dapat dengan adanya BPJS. Saya mendukung penuh adanya sistem jaminan kesehatan
semacam BPJS untuk semua rakyat Indonesia. Namun sistem yang ada harus terus
diperbaiki. Diperlukan sumbangsih semua pihak, baik para instansi terkait,
tenaga kesehatan dan seluruh lapisan masyarakat untuk terus memperbaiki sistem
yang ada. Itulah akhirnya yang membuat saya memutuskan mendaftar menjadi
anggota BPJS bulan ini.
Biaya kesehatan yang sangat sangat mahal, bahkan untuk ukuran kami yang memiliki penghasilan tetap sedikit diatas UMR, membuat hati saya miris. Saya sempat berpikir, bagaimana dengan mereka yang taraf ekonominya jauh dibawah saya. Bagaimana jika mereka sakit? Apa iya mereka gak boleh sakit?! Meskipun saya percaya akan ada banyak pertolongan dari tangan-tangan yang digerakkan oleh Tuhan menjadi perwakilan-Nya mengantarkan rejeki, namun perasaan nyawa seolah hilang ketika ada di depan meja kasir rumah sakit itu sungguh pengalaman tak terlupakan.
Karena itu ketika peringatan hari dokter nasional kemarin,
bersama para dokter dari Ikatan Dokter Indonesia yang sedang turun ke jalan
menyuarakan reformasi di bidang kesehatan, maka saya pun turut membantu
menyuarakan biaya kesehatan yang pro rakyat. Jangan lagi ada kapitalisasi di
bidang kesehatan. Sedih kan ya kapitalisasi sudah merambah banyak bidang,
termasuk bidang kesehatan. Para kapitalis itu memanfaatkan kebutuhan bidang
kesehatan untuk memenuhi pundi-pundi mereka tanpa peduli biaya kesehatan yang
makin bikin sakit hati. Dimulai dari sekolah kedokteran yang mahal, alat-alat
kesehatan yang harganya selangit, obat-obatan yang bikin dompet perih hingga
biaya perawatan yang membuat kantong tercekik.
Sudah saatnya, semua anak bisa bercita-cita menjadi dokter. Entah itu anak petani, anak nelayan, anak para buruh pabrik, mereka layak menjadi dokter sesuai mimpi kanak-kanak mereka. Tak melulu hanya mereka yang kaya dan berkantong tebal saja yang bisa menjadi dokter. Semua generasi dari semua kalangan bisa bersekolah di kedokteran sesuai minat mereka.
Dokter sebagai garda terdepan bidang kesehatan sudah
selayaknya berani maju menentang kapitalisme dibidangnya. Dokter sebagai pelaku
utama, tentu tak ingin hanya dijadikan sebagai alat produksi yang memperkaya
para kapitalis. Suara dokter menentukan reformasi kesehatan yang pro rakyat. Saya
percaya kita memiliki kemampuan untuk mendapatkan wilayah kedaulatan di bidang
kesehatan. Dibantu sumber daya manusia yang mumpuni, kemandirian dalam bidang
kesehatan pasti bisa tercapai. Semoga dokter-dokter di Indonesia tak pernah
lelah berjuang untuk kemanusiaan. Merekalah perpanjangan tangan Tuhan dalam
membantu sesamanya. Selamat Hari Dokter Nasional. Terima kasih tak terhingga
untuk segala peluhmu membantu sesama. Percaya, semesta akan selalu mendukung
niat muliamu.
Ruwet mbak, ruweeet
ReplyDeleteKarena emang RS udah dianggep bisnis sendiri sih ya, jadi yaaaa biarpun ada dokter yg idealis blablabla tetep aja, DUIT yang bicara :)
Aku pingin nulis ttg ongkos yg kudu dikeluarin pas Ibuku opname di RS, tapi yaaa sudahlaaah.... repot! Mau nulis macem2 ntar takut di-"prita"-kan
bukanbocahbiasa(dot)com
begitulah mbak birokrasi dan kapitalisme kalau dikawinkan. Tapi aku percaya, where there is hope, there is light. :)
DeleteBener mba, saya juga punya pengalaman menggunakan bpjs trus up grade ke kelas diatasnya karena kelasnya habis... Biayanya edan banget... Tapi mau apa dikata, nasi sudah menjadi bubur. Pelajaran untuk lain kali agar tidak terulang
DeleteDuh, biayanya mahal sekali ya, mba Wiwit :(
ReplyDeleteDOa utama kita bisa diberi kesehatan ya mba dan smoga rejekinya kembali terkumpul lagi. Aamiin
Dan ketika kita berdoa meminta rejeki yang berlimpah, lalu Allah membalas doa kita dengan memberi kesehatan, maka sesungguhnya doa kita telah terkabul ya mbak... Kesehatan sungguh bentuk rejeki yang tak ternilai harganya.
DeleteIya, kesehatan. Mudah-mudahan mbak sehat selalu. Aamiin.
ReplyDeleteSalam,
Gabrilla
kasian rakyat kecil :(
ReplyDeletesalam
nia