Tak dapat dipungkiri momen mudik selalu membawa oleh-oleh berkesan bagi pelakunya. Oleh-oleh dari kampung halaman rasanya sudah menjadi hal yang wajib dibawa. Oleh-oleh bukan hanya berupa barang atau makanan khas kampung halaman, tetapi juga bisa berupa cerita. Momen yang hanya terjadi setahun sekali sudah barang tentu akan meninggalkan jejak cerita beragam dan berkesan. Ini oleh-oleh mudik saya, cerita tentang metamorfosis dan sebuah nama.
Ibu adalah orang pertama yang saya temui ketika mudik ke kampung
halaman. Ibu, sejak Bapak meninggal beberapa tahun yang lalu jadi semakin rajin
telepon dan rajin bertanya kabar saya. Iya, Ibu yang sering telepon saya, bukan
saya yang telepon Ibu. Semata Ibu lakukan hanya demi mendengar celoteh cucu
kembarnya yang jarang ia temui, yang sering menagih janji kapan main ke rumah
Uti Awi. Ibu yang dengan sabar dan telaten mendidik saya yang keras kepala dan
ceriwisnya minta ampun. Setiap melihat keras kepala dan ceriwisnya dua bocah
kembar di rumah, saya selalu seperti berhadapan dengan kaca. Wajah masa kecil
saya seolah dibiarkan menari sama Gusti Allah di hadapan saya, mengingatkan
saya pada wajah Ibu yang tidak pernah memukul atau mencubit menghadapi
kekeraskepalaan saya.
Jadilah momen mudik tahun ini banyak saya habiskan untuk
menemani Ibu. Saya temani Ibu duduk sambil bercerita tentang apa saja.
Berhadapan dengan saya, biasanya Ibu lebih banyak mendengar. Ibu sadar betul
anak perempuan satu-satunya ini hanya butuh telinga untuk mendengar. Tidak
memerlukan saran, tidak memerlukan komentar yang sok intelek. Hanya butuh kedua
telinga beliau. Senyuman Ibu untuk menanggapi semua cerita saya, sudah cukup
membuat hati lega dan ayem. Saya yang ceriwis tidak akan pernah kehabisan bahan
untuk diceritakan ke Ibu. Bahkan mungkin saudara dan ipar-ipar saya yang harus
menahan telinganya agar tidak memerah mendengar saya berceloteh setiap kali
pulang mudik.
Namun ada yang sedikit berbeda ketika mudik tahun ini. Saya
yang kini memiliki 2 bocah kembar yang tingkat ceriwisnya sudah 1 level lebih
tinggi, membuat saya mulai belajar mendengarkan. Saya mulai belajar membuka
kedua telinga saya dan menggunakannya sesuai fungsi dan fitrahnya,
mendengarkan. Tidak mudah menjadi pendengar yang baik dan menahan diri untuk
tidak berkomentar terlalu banyak. Maka saat itu lah proses metamorfosis dan perjuangan
saya untuk belajar menjadi pendengar yang baik pun dimulai dari rumah.
Lebaran tahun ini saya mendapat cerita yang belum pernah
saya dengar sebelumnya dari Ibu. Cerita tentang sebuah nama yang beliau
sematkan di akta kelahiran saya. Sebuah nama yang beliau pilih sendiri. Cerita
yang saya dapatkan di pagi hari sambil duduk di depan tungku untuk mengusir
hawa dingin bediding, pertanda musim kemarau segera menjelang. Sambil makan
nasi pecel yang dibungkus daun jati, pagi itu Ibu hanya berdua saya saja di
dapur rumah. Kedua bocah masih terlelap dibalik selimutnya. Adik-adik saya
masih menginap di rumah mertua masing-masing. Tahun ini memang giliran saya menemani
Ibu agar tidak sendirian di rumah di hari lebaran.
Awalnya Ibu bercerita tentang mimpinya bertemu almarhum
Bapak. Di dalam mimpinya Ibu sedang berlari sambil di kejar Bapak. Kata Ibu,
dulu ketika masih pengantin baru, Bapak senang sekali menggoda Ibu dengan
mengejar dan menangkapnya, lalu digendong sambil digelitikin. Terbayang kan
film romantis tahun 80an dulu?! Bapak memang sosok yang romantis. Bahkan dengan
anak perempuannya saja Bapak bersikap sangat romantis dan manis. Setiap
berjalan berdua saya, Bapak selalu menggenggam tangan saya dan tidak pernah
melepaskannya, walaupun saya sudah besar. Bahkan ketika sudah kuliah dan
kerjapun, jika jalan berdua, Bapak selalu merangkulkan lengannya ke pundak
saya, atau menggenggam jari saya. Tidak pernah saya dapati Bapak marah pada
anak perempuannya. Jangankan memukul, menghardik saja tidak pernah dilakukan
Bapak. Demikianlah mimpi tersebut membawa Ibu menjadi mendadak mellow di pagi
hari.
Lantas Ibu bercerita, mengandung saya merupakan sebuah
anugerah yang dinanti setelah sekian kali Ibu selalu keguguran. Sejak menikah
dengan Bapak, tidak hanya sekali dua kali Ibu keguguran. Hingga suatu hari
ketika berkunjung ke rumah saudara di Surabaya ketika hamil muda, Ibu
disarankan untuk pergi ke dokter kandungan di RSUD Karang Menjangan. Dokter
meresepkan obat penguat kandungan yang harus diminum Ibu selama 6 bulan
kehamilan. Karena keterbatasan ekonomi, setelah obat habis, ibu tak lagi datang
kontrol ke dokter kandungan. Selain jarak yang jauh yang harus ditempuh, juga
biaya yang terbilang mahal untuk ukuran ibu saat itu. Dengan berucap bismillah,
kandungan yang sudah menginjak trisemester kedua, ibu hanya rajin kontrol ke
bidan desa setempat. Tentunya dengan diiringi do’a yang tak kunjung putus demi
bisa menggendong seorang anak. Mungkin memang sudah rejeki, lalu lahirlah bayi
mungil berjenis kelamin perempuan yang mewarisi gurat wajah bapaknya dan keras
kepala ibunya. Itulah saya ketika masih bayi. Anak pertama yang lahir selamat
adalah arti nama yang disematkan dalam bahasa Indonesia. Dalam bahasa jawa
menjadi Wiwit Rahayu. Nama tersebut berasal dari 3 kata, Wiji, Wiwitan dan
Rahayu. Wiji yang berarti biji atau benih atau anak. Wiwitan berarti pertama,
dan Rahayu artinya selamat.
Maka misteri dibalik nama Rahayu akhirnya terungkap sudah. Dulu
saya sempat protes, nama rahayu itu pasaran sekali. Kenapa ibu dan bapak
memberi saya nama rahayu. Kenapa harus berarti selamat?! Bukankan masih banyak
yang artinya lebih indah dan cantik untuk sebuah nama anak perempuan. Dulu ibu
tak banyak menjawab protes saya. Karena ibu tahu protes saya tidak akan
terpuaskan hanya dari sebuah argumen. Sekarang saya tahu, dibalik sebuah nama
yang tertulis di akta kelahiran saya, tersimpan rasa syukur yang begitu besar
dari kedua orang tua saya. Rasa syukur yang selalu mengiringi setiap langkah
kaki saya adalah do’a yang tak terputus dari bapak dan ibu.
Sebuah nama yang diceritakan setelah si empunya nama sudah
dewasa ternyata membawa kesan yang berbeda. Dulu saya hanya tahu arti nama saya
saja tapi tidak pernah tahu sejarah dipilihnya nama tersebut. Maka lebaran
tahun ini saya bersujud lebih takzim di kaki ibu saya. Bersimpuh lebih lama di
sajadah saya demi Bapak. Saya benar-benar merasakan betapa do’a ibu dan Bapak
tidak pernah terputus untuk saya. Lewat torehan sebuah nama, saya tahu do’a
mereka kekal untuk saya. Bukankah do’a orang tua adalah bekal anak untuk
melangkah, benar kan hijabers? Asyiknya lebaran bukan hanya karena banyaknya makanan di
rumah. Tapi ketika bisa melihat orang tua tersenyum menyambut anak-cucu nya,
mendengar celoteh kita dan melihat proses metamorfosis kita. Itulah kebahagiaan
sejati orang tua.
Oh iya kalau kamu hijabers, ikut sukseskan hari hijaber
nasional yuuk..! Diary hijabers bekerja sama dengan beberapa brand mengadakan
event untuk memperingati hari hijaber nasional, tanggal 7-8 Agustus 2016 di Masjid Agung Sunda Kelapa, Menteng, Jakarta Pusat. Banyak acaranya. Dari acara ini semoga kita
semua bisa menjadi hijaber yang makin istiqomah agar bisa memperingan langkah orang tua
meniti jembatan shiratal mustaqim. Amin. Simak detail acaranya disini yaa:
Bener banget bude. Dulu aku juga suka protes sama namaku,trus suka gemes juga kenapa gak ada nama papa di belakang,padahal kan keren. Hihi..
ReplyDeleteTapi begitu dewasa,jadi bisa mengerti kenapa2nya.
Emang ya kita suka pengen punya nama sendiri. Kayak Kira & Kara sekarang suka protes mau namanya diganti... ^_^
Deletenamanya indah mbak, mengandung doa dan rasa syukur orang tua supaya anak sehat
ReplyDeletenamaku pun kurang lebih punya arti yang sama lho
terima kasih mbak.. Dulu mikirnya, ih kok ibuk bikinnya nama pasaran banget sih. heuheu.
DeleteWit, manusia yang sudah keguguran dua kali berturut-turut sebetulnya punya masalah tertentu. Kemungkinannya bisa karena kesulitan kromosom, bisa karena penyakit lupus, atau gangguan pembekuan darah. Untuk menginvestigasinya dan menyelesaikan masalah ini memang butuh prosedur yang cukup rumit, dan mungkin ketika ibu Wiwit masih muda, situasinya cukup sulit untuk beliau. Makanya ketika beliau berhasil hamil dan bahkan Wiwit lahir selamat, konsep "bayi yang selamat" itu menjadi penting bagi keluarga beliau. Dan karena konsep selamat itu penting, mereka menyematkan kata Rahayu (selamat) itu pada namamu.
ReplyDeletewaaaa.. oh ya mbak vicky? Malah kata ibu kegugurannya sampai 4x lho. Hal seperti itu menurun gak sih mbak? Adikku yang terakhir juga pernah keguguran 1x. Adikku yang ke-3 lahir prematur.
Deleteterharu dan seneng bacanya, ngebayangin wiwit duduk bedua sama nyokapnya di depan tungku (sambil makan gak wit, hehehe)..
ReplyDeletepasti sambil makan dunk ta.. dingin-dingin mana bisa mulut berhenti memamah biak. hahaha.. bawaannya lapar mulu. duduk depan tungku sambil makan nasi pecel bungkus daun jati, minum teh anget.
DeleteSebuah nama mengandung arti tersendiri, terselip doa dan harapan dari orang tua ya.
ReplyDeleteIyaa.. bener mbak! Sama seperti kita kasih nama untuk anak-anak kita..
Deletedeg banget membacanya mba... kalau kita tahu alasan dari sebuah tindakan yang terlihat sederhana jadinya mengharu biru ya mba...
ReplyDeleteIya mbak Ira. Rasanya merasa bersalah dulu suka protes gak suka dikasih nama yang pasaran. heuheu...
Delete