Sep 2, 2016

Pendidikan Formal Bukan Segalanya

"Zaman industri menciptakan model pendidikan yang bisa memenuhi kebutuhan zamannya, yang kita kenal sebagai sekolah. Sekolah menjadi tempat anak-anak zaman industri belajar berbagai kemampuan untuk bisa hidup mandiri. Tidak peduli apa pun keunikan anak, sekolah menuntutnya mempelajari pelajaran yang sama dengan pelajaran yang diperoleh anak lain. Disengaja atau tidak, makna pendidikan dipersempit menjadi persekolahan. Anak yang sekolah adalah anak yang terdidik. Tidak bersekolah berarti kurang terdidik. Belajar berarti mengerjakan tugas sekolah”. 
Itu adalah sebagian kutipan yang saya ambil dari buku ANAK BUKAN KERTAS KOSONG karya Bukik Setiawan. Are you agree with this?

Disadari atau tidak, kita sering menuntut anak-anak untuk terus belajar. Yang itu berarti anak harus duduk di kursinya, menghadap buku, dan menulis sesuatu tentang pelajaran di sekolah. Jika ia menolak, maka stempel malas siap menanti. Melihat anak putus sekolah, apa yang ada di benak anda? Hanya anak nakal dan tidak terdidik yang putus sekolah. Benar atau betul? Sekarang saatnya mari kita membuka pikiran dan wawasan.

Setelah pemilihan presiden 2014, publik ramai membicarakan seorang menteri terpilih yang hanya memegang ijazah SMP. Pada mulanya, banyak yang selalu menyoroti latar belakang pendidikannya. Tak dapat dielakkan, banyak kritikus dan pembicara yang menyayangkan dipilihnya beliau menjadi seorang menteri. Dengan hanya memegang ijazah SMP, banyak yang khawatir anak-anaknya akan mengabaikan pendidikan formal. Mereka takut anaknya berpikiran, buat apa sekolah, toh lulus SMP bisa jadi menteri. Namun bapak presiden dan ibu menteri tetap bergeming. Si ibu Menteri terus saja bekerja. Hasilnya? Luar Biasa. Hasil kerjanya diakui international. Ia disegani Negara lain. Setelah publik melihat prestasi kerjanya sebagai salah seorang menteri dengan tingkat kepuasan publik paling tinggi, maka tak ada lagi yang membicarakan latar belakang pendidikannya. Semua berbicara tentang kinerjanya. Lantas, apakah beliau masih termasuk orang yang tidak terdidik?! Mari membuka pikiran dan wawasan.

Banyak perusahaan yang mensyaratkan minimal tingkat pendidikan untuk para calon karyawan atau karyawatinya. Tingkat pendidikan formal masih menjadi acuan utama syarat diterimanya seseorang bekerja di sebuah perusahaan, tanpa memperhatikan skill atau kemampuan yang dimilikinya. Ketika anda mengirimkan lamaran pekerjaan ke sebuah perusahaan yang mensyaratkan minimal memiliki ijazah Sarjana, maka anda harus menyertakan copy ijazah sarjana. Tanpa copy ijazah sarjana, surat lamaran anda tidak akan dilirik, tak peduli setebal apapun portofolio yang anda miliki. Meskipun kemampuan anda lebih tinggi dari seseorang yang berijazah sarjana, namun ketika anda melamar hanya menggunakan ijazah SMP, maka upah yang anda terima pun hanya setara upah seseorang yang berpendidikan SMP. Namun ternyata, saat ini, mulai banyak bermunculan perusahaan-perusahaan berbasis teknologi informasi yang mengutamakan pengalaman kerja dan kemampuan yang dimiliki seseorang. Perusahaan seperti ini lebih melihat portofolio anda dibandingkan nilai di ijazah pendidikan formal anda. Suami saya tidak pernah memiliki ijazah sarjana. Namun beberapa kali ia bekerja di perusahaan yang mengutamakan ketrampilan dan pengalaman kerja, dibandingkan tingkat pendidikan ijazah formal. Dan saat ini ia bekerja di sebuah perusahaan start up yang penghasilan tiap bulannya setara dengan seseorang yang bekerja dengan ijazah Sarjananya.

Seorang lagi yang saya kenal, bernama ANISA. Ia memiliki tekat dan kemauan yang tinggi dalam belajar tentang apapun. Karena stigma orang tua yang memandang wanita tak memerlukan ijazah untuk bekerja di rumah, maka berhentilah ia sekolah. Tak peduli semoncer apapun prestasinya di sekolah, kelak ia akan menjadi ibu rumah tangga yang akan mengasuh anaknya dan memasak di dapur saja. Lantas, berhentikah ia belajar? TIDAK. Ia terus mengasah kemampuannya dengan caranya. Dari seorang yang awalnya bekerja di cafe, ia kini memiliki percetakan buku indie AE Publishing. Dari seseorang yang menerima upah setara pendidikan SMP, kini ia menjadi seorang yang memiliki karyawan sarjana. Apakah masih ada yang memberikan stempel anak malas atau anak nakal untuknya?! Mari kita berkaca dan membuka pikiran.

Cerita saya diatas hanyalah cerita segelintir orang-orang yang mendobrak stigma masyarakat tentang pendidikan formal. Bukan berarti juga pendidikan formal itu tidak ada gunanya sama sekali. Yang ingin saya tekankan dalam artikel ini adalah, ketika anda tidak memiliki kesempatan untuk menempuh pendidikan formal, maka dunia tidak berhenti disitu. Ilmu tidak hanya ada di bangku sekolah. Belajar bukan melulu membaca buku pelajaran dibalik meja di dalam kelas. Ilmu pengetahuan itu tersebar dimana-mana. Teknologi informasi memudahkan seseorang mencari dan mengunggah berbagai macam pengetahuan. Selama anda memiliki kemauan yang tinggi untuk terus mereguk ilmu, maka anda tidak pernah berhenti untuk belajar, tak peduli dimanapun anda berada, baik di sekolah maupun di rumah. Kembali mengutip buku ANAK BUKAN KERTAS KOSONG, karya Bukik Setiawan 
“Ketika belajar adalah berkarya, maka setiap kali seseorang belajar, sebenarnya ia sedang membangun kariernya.” 
Karena itu jangan berhenti belajar. Mari terus berkarya.

Ingin berkenalan lebih dekat dengan ANISA? Ini biodatanya:

WA/TELP/SMS : 085103414877

FP : Anisa AE

IG : @anisa.ae

twitter : @anis_sa_ae 

4 comments:

  1. Benar sekali, masih banyak pendidikan lain yang perlu mereka ketahui. Kasian juga kalo terlalu di paksakan.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, setiap anak membawa warna dan karakternya sendiri. Tidak semua anak bisa duduk diam mendengarkan lalu ngerti. Cara belajar setiap anak berbeda-beda :)

      Delete
  2. Yap, banyak sekolah formal yang justru menyeragamkan anak, dan membuat anak secara tidak sengaja menjadi terbatas perkembangannya :(

    Salam,
    Shera.

    ReplyDelete